Dãrul Balã’
Ibnu Abbas adalah salah seorang sahabat yang semasa kecilnya pernah didoakan oleh Rasulullah sembari dipegang pundaknya. Lantunan doa Rasulullah tersebut sebagai berikut:
اَللهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ الْكِتَابَ
“Ya Allah, pahamkanlah dia (Ibnu Abbas) terhadap agama dan ajarkanlah kepadanya al-Kitab (al-Quran).”
Sebagai bukti kemakbulan doa Rasulullah tersebut Ibnu Abbas menjadi salah seorang ulama tafsir al-Quran dengan karyanya yang dijadikan referensi oleh para ahli tafsir sepeninggalnya, seperti Ibnu Katsir, al-Qurthubiy, as-Sa’diy, Durarul Mantsur, Fathul Qadir, ath-Thabariy, dan lain-lain.
Ibnu Abbas pernah memberikan kongklusi singkat nan padat tentang kehidupan dunia fana ini. “Innaddun-yã dãrul balã’, sesunggunya dunia ini rumah ujian”, begitu jelasnya.
Berdasarkan ungkapan Ibnu Abbas tersebut, kita dapat memahami bahwa apapun yang terjadi saat ini, bagaimanapun kondisi kita hari ini, baik keberlimpahan ataupun kemelaratan, kebahagiaan ataupun kesedihan, kesuksesan ataupun kegagalan, semua itu adalah ujian dari Allah untuk mengukur kadar keimanan kita.
Oleh karena itu ujian dibagi menjadi dua macam, yaitu al-minhah dan al-mihnah. Al-Minhah adalah ujian berupa sesuatu yang sesuai dengan keinginan dan harapan. Misalnya harta berlimpah, bisnis yang sukses, keturunan berkualitas, prestasi, dll.. Sedangkan al-Mihnah adalah cobaan keimanan berupa hal-hal yang tidak dicita-citakan kehadirannya. Misalnya kesengsaraan, kerugian, kegagalan, kehilangan orang yang disayangi, dll..
Namun pada realitasnya kebanyakan orang merasa sedang diuji jika ditimpa al-mihnah. Padahal Umar bin Khatab menegaskan bahwa ujian terberat itu adalah ujian berupa kesenangan hidup. Orang yang tidak merasa sedang diuji jika mendapatkan al-minhah adalah orang yang makhdû’un ‘an ‘aqlihi (tertipu oleh akalnya sendiri), begitu lanjut Umar.
Sikap Defensif
Dalam menyikapi kedua ujian tersebut ada kunci utama yang mesti dimiliki, yaitu syukur dan sabar. Syukur untuk menghadapi al-minhah dan sabar untuk menjalani al-mihnah.
Syukur arti asalnya sama dengan zhuhur yang berarti nyata. Syukur adalah sikap menerima segala sesuatu dengan senang hati yang penyataannya sering diwujudkan dengan ucapan terima kasih. Lebih dari itu, Imam Sahl bin Abdullah mendefinisikan syukur sebagai sikap sungguh-sungguh dalam mencurahkan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya.
Orang kaya belum disebut bersyukur bila ia belum memenuhi hak-hak orang yang membutuhkan, shalatnya masih ditunda-tunda bahkan sampai lupa melaksanakannya, Quran hanya sekedar hiasan rak bukunya, tidak mau menambah ilmu dan amalnya tidak lebih baik dari sebelumnya.
Orang berilmu belum dikatakan bersyukur jika ilmunya tidak berbuah amal, belum mampu menjauhi maksiat, menyembunyikan ilmu sekalipun ada yang meminta nasehat, dan kerap melakukan hal sia-sia padahal meninggalkan yang sia-sia adalah indikator baiknya keislaman seseorang. Rasulullah saw. bersabda, “Diantara sikap terbaik keislaman seseorang adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat.” (H.R. Tirmidziy).
Simpelnya, syukur tidak sekedar kata melainkan sebuah perwujudan dengan kinerja diri yang lebih baik dan sesuai prosedur kehidupan secara Islam.
Sedangkan sabar adalah menahan nafsu dalam menghadapi sesuatu yang dibenci (lihat Tafsir al-Jalalain tentang Q.S. al-Baqarah ayat 45!). Nilai substansinya antara lain menahanan diri agar tidak berkeluh kesah, meredam amarah, menguasai diri untuk tidak menyesal, melatih diri untuk selalu taat dan membentengi diri agar tidak melakukan maksiat.
Al-Hafizh al-Faqih Zainuddin Abul Faraj Abdurrahman bin Syihabuddin alias Ibnu Rajab dalam kitabnya, Jami’ul Ulum wal Hikam, menjelaskan pembagian sabar menurut Sa’id bin Jubair, Maimun bin Mahran, dan Ulama Salaf yang lainnya sebagai berikut:
1. Sabar dalam menaati Allah
Sabar dalam ketaatan dibuktikan dengan kesungguhan untuk menjalankan perintah Allah baik perintah secara tegas maupun yang sifatnya anjuran berdasar pada petunjuk Rasulullah saw.. Misalnya, ketika adzan berkumandang padahal kita sedang sibuk dengan pekerjaan, maka bersabarlah untuk menyambut panggilan suci tersebut dengan segera mengambil wudlu dan mendirikan shalat. Contoh yang lain, sedang nyenyak-nyenyaknya tidur, bersabarlah untuk bangun di sepertiga malam terakhir untuk melaksanakan shalat tahajud karna shalat tahajud sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Orang yang melazimkan tahajud, akan mendapat reward luar biasa dari Allah, masuk surga dengan penuh sejahtera dan diangkat ke tempat yang terpuji. “Dan pada sebahagian malam shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (Q.S. Al-Isra [17]: 79).
Dalam ketaatan, Rasulullah memberikan intruksi untuk menjalankannya sekemampuan kita. “Jika aku memerintahmu untuk melakukan sesuatu, kerjakanlah sesuai kemampuanmu.”. Begitulah sabda Rasulullah saw.
2. Sabar dalam menjauhi maksiat
Sabar dalam hal ini terwujud dengan upaya meninggalkan maksiat secara total tidak sekemampuan. Rasulullah memberi penekanan, “…dan jika aku melarang kamu untuk melakukan sesuatu, maka tinggalkan.”. Tidak ada toleransi dalam kemaksiatan, sepenuhnya mesti ditinggalkan. Misalnya, menjauhi hal-hal yang mendekatkan kepada zina, menolak ajakan standing party, menguatkan diri agar tidak terjebak ke dalam pergaulan tanpa batas, atau membentengi diri supaya tidak terbawa arus informasi yang sekuler.
3. Sabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah
Menurut bentuknya, takdir ada dua macam, takdir yang baik dan takdir yang buruk –di mata manusia–. Menurut subjeknya takdir pun terbagi kepada dua, takdir mubram dan takdir mu’allaq. Takdir mubram adalah takdir karena otoritas Allah, tidak ada kaitan dengan kausalitas antara hasil dan ikhtiar, seperti kematian, masa tua, dll.. Takdir mu’allaq adalah takdir yang berkaitan dengan upaya manusia, misalnya takdir pintar adalah melalui wasilah belajar, takdir kaya melalui perantara usaha, dll..
Syukur dan sabar. Itulah dua kunci utama dalam menjalani ujian kehidupan. Syukur sebagai kunci untuk mengeksplorasi ujian kesenangan hidup agar menjadi berkah. Sabar sebagai sikap terbaik dalam “mengindahkan” ujian kesengsaraan lahir maupun batin.
Syukur dan sabar. Itulah dua komponen keimanan sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam karyanya, Uddãtush-Shãbirîn wa Dãkhiratisy-Syãkirin, bahwa iman itu terdiri dari dua bagian, setengahnya adalah syukur dan setengahnya lagi adalah sabar.
Konsepnya mudah, tapi aplikasinya bagaimana? Sebagai muslim yang siap menjemput ridla Allah, kita azamkan, aplikasinya lebih mudah daripada konsepnya, insya Allah. Allahu Akbar…! Yusuf Awaludin
_____________
Maraji'
Ibnu Rajab: Al-Jami'ul 'Ulum wal Hikam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar